Al Amr
Al – Amr atau Amar artinya perintah, suruhan atau
titahan.
Amar yang ditujukan dalam pembicaraan ini adalah:
“PERINTAH DARI ALLAH DAN RASUL – NYA YANG ADA DALAM AL QURAN DAN
HADITS-HADITS”.
Tentang “perintah” ini ada beberapa qa’idah
sebagai berkut:
Tiap-tiap perintah yang terdapat dalam Al Quran
dan Hadits Nabi Saw, pada asalnya berketetapan Wajib (Diantara
alasan-alasan yang menetapkan dasar ini adalah perintah Allah kepada malaikat
dan jin untuk tunduk kepada Nabi Adam, tetapi iblis enggan. Maka karena
keengganannya ini, Allah hukum iblis itu [lihat Al Quran surah Al Baqarah ayat
34]) seperti firman Allah:
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat (An-Nisa:77)
Keterangan:
Perkataan “Dirikanlah” itu, suatu perintah dari
Allah. Tiap-tiap perintah, asalnya “wajib”. Kesimpulannya: Shalat itu, hukumnya
“wajib”.
Kata-kata “shalat” meliputi semua macam shalat
yang ada dalam Agama kita, yaitu: shalat 5 kali sehari, shalat hari raya,
shalat rawatib, shalat tarawih, shalat tahiyatul masjid, dan sebagainya.
Menurut hukum yang asal tadi, tentu kita harus
menetapkan bahwa: shalat tarawih, tahiyatul masjid, shalat hari raya, shalat
rawatib itu juga “wajib”. Tetapi ada keterangan yang menetapkan bahwa shalat
yang diwajibkan kepada kita hanya 5 kali dalam sehari semalam, sebagaimana yang
telah kita sama-sama ma’lumi.
Riwayat yang menetapkan hanya shalat 5 itu saja
adalah:
جَاءَ اَعْرَابِيٌّ فَقَالَ :
يَارَسُوْلَ اللّٰهِ مَا فَرَضَ اللّٰهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ :
اَلصَّلَاتُ الْخَمْسُ اِلَّا اَنْ تَطَوَّعَ شَئْاً ( البخاري )
Artinya: Telah dating seorang Arab gunung, lalu
bertanya: “Ya Rasulullah! Shalat mana yang Allah wajibkan atasku?” Maka Nabi
menjawab: “(Ialah) shalat yang 5, kecuali kalau engkau hendak mengerjakan yang
sunnatnya”. (Bukhari)
2. Perintah wajib jadi sunnat
Perintah-perintah yang asalnya “wajib” dapat
berubah menjadi ketetapan “sunnat”, jika ada dalil Agama.
Contohnya: sabda Nabi Saw:
صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ (
البخري )
Artinya: Shalatlah (2 rakaat) sebelum (shalat)
Maghrib (Bukhari)
Keterangan:
Perkataan “shalatlah” itu 1 perintah Nabi Saw.
Tiap-tiap perintah pada asalnya wajib. Jadi menurut ini shalat 2 rakaat sebelum
Maghrib itu adalah “wajib”. Tetapi riwayat orang Arab gunung yang dating kepada
Nabi Saw, sebagaimana tersebut diatas, terang menunjukkan bahwa shalat yang
wajib itu hanya 5 saja.
Karena itu, maka “2 rakaat sebelum Maghrib” itu,
bukan wajib. Perintah yang bukan wajib itu, apabila mengenai urusan ibadah,
disebut “sunnat”.
3. Perintah wajib jadi mubah
Perintah-perintah yang pada asalnya “wajib”,
dapat berubah menjadi “mubah”, bila ada keterangan atau jalan yang menunjukkan
ke situ.
Seperti firman Allah Swt:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا .....
( الاعراف : ٣١ )
Artinya: Dan makan dan minumlah….. (Al-A’rof: 31)
Keterangan:
Kalimat “makan dan minumlah” itu, kedua-duanya
perintah dari Allah. Tiap-tiap perintah asalnya “wajib”. Menurut ini, maka
“makan dan minum” itu mestinya mempunyai hukum “wajib” pula.
Tetapi oleh karena “makan dan minum” itu urusan
keduniaan serta Allah atau Rasul-NYA tidak menentukan banyaknya, sedikitnya dan
tidak ada suatupun paksaan, maka tentulah perintah “makan dan minum” itu dalam
bentuk seperti tersebut, tidak dapat dikatakan “wajib”.
Sesuatu yang “tidak wajib” dalam hal keduniaan
seperti tersebut, dinamakan “mubah” ya’ni “boleh”; boleh makan dan minum.
4. Perintah wajib jadi do’a
Perintah-perintah
yang pada asalnya wajib, bisa berubah menjadi sebagai “do’a”dengan alasan dan
melihat pada kedudukannya.
Seperti firman
Allah dalam Al Quran:
اِهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
( الفاتحة )
Artinya:
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (Al-Fatihah)
Keterangan:
Perkataan
“tunjukkanlah” itu berbentuk suatu perintah. Tiap-tiap perintah pada asalnya
wajib. Jadi mestinya, ayat ini bermakna “wajib ENGKAU (Allah) menunjukkan”.
Tetapi oleh
karena ucapan itu kita hadapkan kepada Allah yang menjadikan kita, yang memberi
rizki kepada kita, yang memelihara kita dan seterusnya, tentulah tidak pada
tempatnya dikatakan Allah “wajib memberi petunjuk” yang berarti kita memerintah
kepada - NYA. Oleh karena itu, maka ucapan kita itu berupa suatu “permintaan”
kepada Allah. Permintaan manusia kepada Allah dinamakan “do’a”. Dengan begini,
maka ma’na ayat tadi, adalah kita memohon kepada Allah supaya DIA menunjukkan
jalan yang lurus.
5. Tiap-tiap perintah asalnya “sekali”
Tiap-tiap
perintah yang terlepas (tidak bersyarat, tidak ditentukan waktunya dsb) pada
asalnya cukup dikerjakan “sekali” saja. Tegasnya jika orang yang diperintah
mengerjakan perintah itu “sekali” saja, terlepaslah ia dari kewajiban.
Seperti firman
Allah dalam Al Quran:
أَتِمُّوا
الْحَجَّ..... ( البقرة : ١٩٦ )
Artinya:
Sempurnakanlah hajji …. (Al Baqarah : 196)
Keterangan:
Perkataan
“sempurnakanlah” itu satu perintah yang terlepas. Dari perintah ini dapat kita
keluarkan 2 ketentuan:
I. Tiap-tiap perintah asalnya wajib. Jadi naik
haji itu hukumnya “wajib”, dan tidak ada dalil yang mengubah kewajiban itu.
II.Tiap-tiap perintah asalnya cukup
dilaksanakan sekali saja. Jadi, naik haji cukup dikerjakan sekali saja
seumur hidup. Oleh karena itu tidak ada lain-lain keterangan Agama yang
mengubah “satu kalinya” itu, maka tetaplah ibadah haji itu wajibnya hanya
sekali seumur hidup.
Kesimpulan:
Haji itu
hukumnya “wajib” dan cukup “satu kali”
6. Perintah “sekali” jadi “berulang”
Perintah yang
asalnya memadai dilakukan sekali saja, dapat berubah menjadi wajib
dikerjakannya lebih dari sekali, bilamana ada dalil yang menentukan ke situ.
Seperti firman
Allah dalam Al Quran:
اَقِيْمُوْاالصَّلَاةَ
..... ( البقرة : ١١٠ )
Artinya:
Dirikanlah shalat ….. (Al-Baqarah: 110)
Keterangan:
Perkataan
“dirikanlah”, adalah suatu perintah. Dari perintah ini, kita mendapat 2
ketetapan, yaitu:
I. Tiap-tiap perintah asalnya “wajib”. Jadi
“wajib” shalat. Tentang shalat mana yang wajib itu, telah ada pembicaraanya
pada fasal “Tiap-tiap perintah asalnya wajib”
II.Tiap-tiap perintah asalnya cukup dkerjakan sekali
saja. Jadi mestinya shalat yang wajib itu juga cukup dilakukan sekali
saja. Tetapi di fasal (I) ada riwayat orang Arab gunung yang menetapkan bahwa
shalat wajib yang harus kita kerjakan itu, sehari semalam, lima kali. Ini
menunjukkan berulang-ulang. Jadi riwayat Arab gunung itu sebagai dalil yang
mengubah dari “sekali” menjadi “lebih dari sekali” (berulang-ulang).
Kesimpulan:
Shalat lima
waktu itu “wajib” dan harus dilakukan dengan “berulang-ulang”.
7. LAFAZH KHABAR JADI “PERINTAH”
Dalam Al Quran
dan Hadits banyak kata-kata yang berbentuk khabaran, tetapi mengandung
“perintah”.
Contoh ayat
firman Allah dalam Al Quran:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
... ( البقرة : ٢٢٨ )
Artinya:
Perempuan-perempuan yang telah dicerai itu, menahan diri-diri mereka (yaitu
ber’iddah) 3 kali bersih dari haidh (Al-Baqarah: 228)
Keterangan:
Kalimah
“menahan” disitu, bentuknya adalah sebagai khabaran, karena memakai fi’il
mudhari’ tetapi maksudnya “memerintah” yaitu “hendaklah mereka menahan”
Dikatakan
demikian, karena perempuan-perempuan yang telah dithalaq itu, sebenarnya tidak
ada kewajiban menahan diri mereka untuk ber’iddah, jika tidak diperintah Agama.
Contoh dari
Hadits:
قَالَتْ
اَسمَاءُ : جَاءَتْ اِمْرَاَةٌ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ : اِحْدَانَا
يُصِيِبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَامِ الحَيْضَةِ. كَيْفَ تُصْنَعُ
بِهِ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ
تُصَلِّی فِيْهِ ( مسلم )
Artinya: Telah
berkata Asma’: Seorang perempuan telah dating kepada Nabi Saw, lalu bertanya:
“Seorang dari kami, kainnya kena darah haidh. Maka bagaimanakah ia harus
berbuat?” Jawab Nabi Saw: “Ia hilangkan darah itu, lalu ia gosoknya dengan air,
kemudian ia cucinya, sesudah itu ia shalat dengan memakai kain itu”. (Muslim)
Keterangan:
Perkataan-perkataan
“hilangkan”, “gosok”, “cuci”, dan “shalat” itu semua berbentuk khabar, karena
lafazh-lafazhnya itu fi’il mudhari’ (nama pekerjaan yang sedang atau akan
berlaku), bukan kalimah “perintah” (fi’il amr).
Perempuan
tersebut menanyakan “hukum” membersihkan kain yang kena darah haidh, bukan
minta khabar biasa. Jawaban Rasulullah tentulah berupa “hukum” pula, sedang
yang dikatakan hukum itu, adalah “perintah” dan “larangan”.
Dalam riwayat
Muslim tersebut, tidak ada bentuk “larangan”. Jadi nyata yang Nabi Saw sabdakan
kepada Asma’ itu adalah “perintah”, yakni: “hilangkanlah”, “gosoklah”,
“cucilah” dan “shalatlah”.
Lafazh-lafazh
khabaran yang teranggap sebagai “perintah” itu, kebanyakannya berbentuk fi’il
mudhari’ seperti diatas.
Sampai disini
kami habisi penerangan qa’idah-qa’idah Ushul yang perlu-perlu yang berhubungan
dengan “perintah”. Untuk tiap-tiap 1 qa’idah kami bawakan hanya 1 contoh saja.
Boleh saudara pembaca qiaskan semua yang dapat dimasukkan dalam qa’idah-qa’idah
tersebut.
والله
اعلم